Menyetarakan ‘Sisi Negatif’ Prestasi Prabowo dan Jusuf Kalla

Menjelang Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden RI 2014, Prabowo selalu digoyang dengan isu dengan pelanggaran HAM. Tragedi Timor Timur dan Revolusi tahun 1998 di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan Jusuf Kalla? Benarkah dia ngga punya prestasi ‘negatif’ yang bisa disejajarkan dengan ‘prestasi’ nya Prabowo tersebut? Di satu sisi, Jusuf Kalla (kebetulan) bukan dari kalangan militer, sehingga dia ngga punya ‘kesempatan’ untuk terlibat ‘secara teknis’ dalam momentum-momentum penting seperti halnya revolusi 1998.

Di luar sana, media-media sepertinya bertarung mendapatkan simpati dari pasangan capres-cawapres ini, condong ke salah satu tokoh, tapi ini pendapat saya, hasil dari tanya sana sini, diskusi seputar kedua orang ini.

Prabowo

Timor timur merupakan proyek titipan negara Amerika. Fretilin (yang katanya, beberapa sumber menyebutkan iya, bebearapa tidak) merupakan komunis melalui partai nya berhasil mendominasi Timor Timur. Biasa, Amerika ngga mungkin diam ketika tahu ada basis komunis berkembang baik.

Kok titipan? Iya, Amerika tahu persis bagaimana hebatnya Indonesia membasmi habis komunis (PKI dan simpatisannya) dalam waktu singkat dengan korban jutaan lebih dan berhasil mempertahankan propaganda bahwa komunis itu jahat, pembunuh, sadis dan sebagainya.

Jadi, ceritanya, Prabowo memang ditugaskan memimpin melaksanakan operasi militer untuk menangkap wakil presiden Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato, yang juga Perdana Menteri peratam Timor Timur. Hasilnya adalah Nicolau dos Reis Lobato tewas dihujam peluru. (Sumber).

Semua kejadian ini dimulai tahun 1975 dan tahun 1976, Indonesia mengumumkan Timor Timur sebagai propinsi ke 27 milik Indonesia, kemudian tahun 2002, Timor Timur resmi merdeka dan menjadi anggota PBB. (Sumber)

Pelanggaran HAM banyak menjadi isu penting di sini.

———- 1998

1998 Memang tahun tragedi. Revolusi yang sepertinya memang harus terjadi, walaupun keterlibatan CIA (Amerika) yang sudah mulai ngga suka dengan Soeharto (salah satunya mungkin karena keterlibatan almarhum dengan OKI) bisa jadi memang ada.

Soeharto, yang kebetulan adalah mertuanya Prabowo, saat itu sedang dalam proses pelengseran paksa oleh rakyat Indonesia yang diwakili oleh berbagai organisasi kemasyarakatan yang berdemo tanpa kenal lelah yang penting Soeharto turun dari jabatannya.

Ada 2 petinggi militer yang berperan secara teknis kala itu, Prabowo dan Wiranto. Prabowo sekali lagi adalah kebetulan menantunya Soeharto.

Mind set yang dimiliki Prabowo, kurang lebih, asumsi saya secara objektif begini, soal ketahanan dan keamanan negara dan kestabilan negara, Prabowo memiliki mandat untuk mengamankan pemerintahan, kedaulatan negara dan bangsa, mengamankan Presiden dari penurunan paksa, apapun dia lakukan untuk itu, termasuk membawa pasukan nya dari Dili ke Jakarta dan bahkan isunya adalah bahwa Prabowo lah yang memang ‘sengaja’ menciptakan kerusuhan, menyulut api kerusuhan serta lagi-lagi, menculik aktivis-aktivis.

———- Tanggung Jawab Struktural atau Personal?

Revolusi dan Perang selalu menimbulkan korban, baik perang Timor Timur dan Tragedi 1998, banyak pihak yang menyudutkan ke personal Prabowo sebagai pemimpin misi-misi militer.

Padahal, apakah mungkin, tanpa ada komando dari pemimpin tertinggi, dia akan melaksanakan tugasnya itu?

Kalau mau dilihat secara struktural, Prabowo mendapat komando dari perwira tinggi lainnya, perwira tinggi dapat order dari panglima tertinggi yaitu Presiden RI, Presiden RI itu siapa? iya, Presiden RI itu mandataris MPR dan MPR itu adalah wakil-wakil rakyat. Mengapa MPR melakukan pembiaran? Apakah rakyat telah melakukan blunder memilih wakil-wakilnya? Apakah Amien Rais yang pada tahun 1998 merupakan motor revolusi tidak pantas dimintai tanggung jawab?

Saya ngga berbicara soal bagaimana efektifnya MPR saat itu di era Soeharto. Tapi cuma berpendapat bahwa, sejarah apapun yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab bersama Bangsa Indonesia, bukan tanggung jawab personal.

Jusuf Kalla

‘Prestasi’ terburuk yang pernah digoreskan oleh Jusuf Kalla, menurut saya, belum tentu oleh orang lain, adalah ‘lepas’nya Daerah Istimewa Aceh.

Mengapa saya bilang lepas?

GAM, Gerakan Aceh Merdeka, memulai operasi nya pada tahun 1975 menentang pemerintah Indonesia dengan tujuan memerdekakan diri. dari GAM Part 1, part 2 dan pada akhirnya part 3, di bawah bayang-bayang dan desakan militer Indonesia melalui DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh, perjuangan mereka mendapat titik terang pada tahun 2005 dengan ditandatanganinya Perjanjian Helsinki, yang difasilitasi oleh Swedia (kok bisa swedia?), di mana Jusuf Kalla terlibat langsung dalam terciptanya perjanjian ini. (Sumber)

Dengan adanya perjanjian Helsinki, GAM, kalau saya ngga salah ya, menjadi satu-satunya separatis dengan pasukan milisinya (Milisi berarti sipil yang bersenjata) yang berhasil membuat Indonesia ‘menyerah’. Ingat berapa banyak pergerakan separatis yang terjadi di era Soekarno dan Soeharto yang ditumpas habis?

Ya, Indonesia ‘menyerah’, dengan disepakatinya butir-butir spesial untuk GAM dan antek-anteknya. Butir-butir yang jelas-jelas merusak kedaulatan bangsa dan persatuan bangsa.

Butir-butir itu antara lain (salah satu sumber):

  • 1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
  • 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
  • 1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
  • 1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif, ataupun hambatan lainnya.
  • 1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing melalui laut dan udara.
  • 1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pascatsunami (BRR).
  • 1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
  • 4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.
  • 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
  • 4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ini berarti ada negara dalam negara! Perjanjian Helsinki, dengan aktor diplomasi nya Jusuf Kalla dan ditanda tangani a/n Pemerintah Republik Indonesia oleh Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM) saat itu adalah kesalahan. Kesalahan mutlak.

———- Tanggung Jawab Profesi

Prabowo dengan profesinya sebagai pemimpin militer (Kopassus) dan Jusuf Kalla sebagai pengusaha.

Benarkah Prabowo melancarkan aksinya pada tahun 1998 semata-mata hanya untuk melindungi Soeharto (mertuanya)?

Mengapa Prabowo dan anggotanya punya hobi menculik? Bagaimana mereka menentukan target penculikan?

Mengapa Prabowo ngga melakukan kudeta militer ketika Soeharto lengser, itupun jika benar-benar dia semata-mata berjuang atas nama keluarga besarnya?

Adakah kepentingan lain JK mengusahakan perjanjian Helsinki jadi terwujud? ada apa dengan Swedia muncul sebagai broker perjanjian itu? Apakah penguasaan Taman Leuser Aceh yang disinyalir memiliki kandungan uranium (bahan baku nuklir) yang sangat banyak?

GAM, Swedia, Konglomerat dunia kah yang menginginkan uranium? Ini isu atau gosip lain. Tapi ada kemungkinan arah perjuangan mereka ke sana. Yang pasti, jika saja waktu itu ada tokoh militer nasionalis yang loyal terhadap NKRI, seharusnya perjanjian Helsinki ngga perlu terjadi. Militer pasti tahu betapa pentingnya Aceh dan Taman Leuser nya untuk dipertahankan mati-matian.

Apakah GAM semata-mata berjuang karena rasa ketidakadilan sosial? Atau untuk menuntut gelar keistimewaan wilayahnya benar-benar istimewa setelah era Belanda 1873-1903?

Sekali lagi saya berpendapat, sejarah apapun yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab bersama Bangsa Indonesia, bukan tanggung jawab personal.

Beberapa sumber yang saya sajikan disini mungkin ngga tepat atau ngga aktual.

Leave a comment